The Soda Pop

on : 1



~ Situs Gay ~

Hari ini aku begitu lelah.Pekerjaan
menumpuk,sementara masalah lain
mengganjal.Sejak kepergian mamanya
karena tsunami di Aceh,anakku jadi
pemurung.Baby sister yang kuambil tidak
bisa mengisi kekosongan hatinya.Aku
kasihan padanya.Disisi lain,gairah
kelakianku pun sudah lama menuntut
untuk bisa terluapkan.Terkadang pikiran
kotor untuk memakai jasa WTS atau
pegawai salon yang tidak sedikit
menawarkan jasa esek-esek,tetapi
ketakutan kena razia selalu
menghantuiku.
Ingin aku segera mencari pengganti
mama buat anakku. Tetapi aku merasa
tidak bisa sesederhana ketika aku tidak
memiliki anak. Kali ini kebutuhanku
dengan seorang pendamping sama
kuatnya dengan kebutuhan anakku akan
figur mama. Jadi aku tidak bisa egois
asal aku cocok dengan seorang wanita,
lalu aku menikahinya, tanpa
mempedulikan kepentingan anakku.
Bahkan terkadang kepikiran, siapapun
yang bisa membuat anakku senang dan
nyaman, aku rela menikahinya.
"Astaga...", aku tercekat saat menyadari
mobil yang kukemudikan menabrak
sepeda motor di depanku saat di lampu
merah.
Mati aku, gumanku. Apalagi saat
menyadari bahwa yang telah aku tabrak
adalah seorang polisi yang sedang
pulang kerja sepertiku. Dadaku
langsung berdetak kencang. Polisi itu
pun refleks menoleh ke arahku. Spontan
pula dipinggirkan motornya. Lampu yang
sudah hijau membuat arus kendaraan
yang agak macet, semakin macet. Aku
masih terdiam di mobil, sambil menunggu
apa yang dimaui polisi itu, karena
padatnya lalu lintas tidak memungkinkan
aku untuk keluar dan menghampirinya.
Agak kasar sang polisi memberi tanda
agar aku meminggirkan mobilku di dekat
pos polisi. Aku mengangguk, kemudiam
mengikuti perintahnya. Jantungku
semakin berpacu cepat saat mendapati
tiga polisi lain yang sedang bertugas di
pos melihat-lihat motor sang polisi yang
kutabrak. Aku membayangkan akan
sangat rumit urusannya. Belum lagi
berapa duit yang harus aku keluarkan
saat harus berurusan dengan polisi.
"Maaf, Pak", aku segera menghampiri
sang polisi, begitu aku turun dari mobil.
"Kamu itu bisa nyetir nggak?", sang polisi
itu marah. Aku yakin bukan masalah
motornya yang rusak, tetapi lebih pada
masalah harga diri.
"Maaf, Pak", hanya kata itu yang terus
aku lontarkan."Saya mengaku salah".
"Ini parah. Bisa jutaan", sang polisi itu
melepas helmnya. Belum-belum aku
sudah merinding. Benar dugaanku, aku
bisa dipermak di depan polisi lain.
"Tapi kan hanya lampu belakang yang
pecah, Pak", aku mencoba menawar.
"Memang, tapi ada hal lain.
Kekagetanku", sang polisi itu memberi
tanda pada temannya, mungkin untuk
menguatkan omongannya.
Sesaat setelah aku amati wajah polisi
itu, entah kenapa aku merasa ada
sesuatu. Tubuhnya yang tegap dan gaya
bicara yang tegas dengan beraksen
Medan, seolah memberiku sebuah
kenangan. Apalagi wajah dan tatapan
matanya yang tajam, terasa tidak asing.
Refleks mataku melirik nama di bajunya.
Jandris Siregar.
"Maaf, Pak. Apakah sewaktu kuliah
Bapak pernah kost di Pondok Rindu",
agak ragu aku memberanikan diri
mengalihkan omelannya. Polisi itu mulai
terpancing. Keningnya berkerut seolah
sedang mengingat sesuatu.
"Hmmm...", polisi itu terdiam sesaat."Kamu
siapa?".
"Saya Hafiedz, Pak. Dulu saya pernah
kost di Pondok Rindu, dekat Kali Code,
miliknya Pak Badrun".
"O..., Pak Badrun. Iya, aku ingat",
ketegangan di wajah polsi itu mulai
hilang.
"Iya. Saya dulu pernah punya teman
dekat, namanya Jandris Siregar,
wajahnya seperti Bapak".
"Ya ampun. Hafiedz..., kamu si tukang
gambar itu ya?. Yang suka dipanggil Dj
Paijo?", aku mengangguk."Wah, pangling
aku. Pantesan, tadi aku merasa tidak
asing denganmu. Apalagi senyum itu
tidak mungkin aku lupa. Habis kamu
sekarang subur. Sukses kayaknya".
"Jadi benar Bapak adalah Jandris
temanku?".
"Jangan panggil aku Bapak dong. Kita
kan cuma beda dua tahun".
Aku tersenyum. Aku senang bisa bertemu
dengan teman lama. Dulu aku pernah
satu kos, tetanggaan kamar. Jandris
sudah semester empat saat aku datang
di Jogja sebagai mahasiwa baru. Mungkin
karena dari satu pulau, kami cepat akrab.
Bahkan saking dekatnya apa yang dia
punyai, adalah punyaku juga, begitu
sebaliknya, kecuali pacar tentunya.
"Kamu semakin gagah dengan baju itu",
aku tidak bisa menyembunyikan
kekagumanku. Rupanya keputusannya
untuk putus kuliah dan menjadi polisi,
adalah pilihan tepat baginya.
"Kamu juga hebat. Bermobil", aku
tersenyum. "Main ke tempatku yuk!".
"Terus urusan motor gimana?", aku
menggodanya, merasakan bahwa dia
juga tidak bisa menyembunyikan
gembiranya.
"Ya teteplah. Bahkan kamu harus
membayar lebih mahal".
Jandris masih seperti yang dulu. Hangat
dan suka menggoda. Tetapi sekarang
terlihat lebih dewasa dan gagah dengan
balutan seragamnya. Setelah menitipkan
motornya di bengkel dekat lampu merah,
kami cabut ke rumahnya.
"Kamu semakin cakep", tangan Jandris
menyentuh wajahku. Aku tercekat.
Masihkah dia seperti dulu yang suka
menciumku tiba-tiba saat kami berduaan
di kamar?. Bahkan tidak jarang kami
sering berpelukan saat tidur bareng.
Tetapi cuma sebatas itu. Aku sendiri tidak
tahu kenapa kami sampai berbuat itu.
"Kamu juga semakin gagah,
menggairahkan", aku yang sudah
mendapatkan pengalaman bercinta
dengan Mr. Smith, Aab Saddam atau
dengan polisi seperti dalam ceritaku di
Kenikmatan dari Polisi, mulai agresif.
Tangan kiriku membalas menyentuh
wajahnya.
"Aku kangen berat lho", Jandris
memegang tanganku, kemudian
menciumnya.
"Sama. Bahkan aku patah hati. Makanya
aku pindah ke Krapyak saat kamu pergi,
takut tidak bisa melupakan kenangan
bersamamu".
"Pantesan. Aku pernah ke kos, saat aku
kangen berat. Tapi kamunya sudah tidak
ada".
"Sudah kawin?", aku mengalihkan
pembicaraan.
"Sudah. Punya dua anak. Tapi...", Jandris
terdiam.
"Tapi apa?".
"Ah, sudahlah. Kamu sendiri?".
"Sudah. Satu anak. Tapi...".
"Tapi apa?".
"Kamu dulu dong cerita!", tangan kami
terus berpegangan. Saling remas
pasangan sedang berkencan.Bahkan
tangannya mulai berani bergerilya di
pangkal pahaku. Aku mulai bergidik.
"Istriku meninggalkanku setelah
memergogiku mencium lelaki".
"Seperti Brokeback Maountain", Jandris
mengangguk.
"Kalau isteriku meninggal saat tsunami.
Mungkin tuhan tidak mengijinkannya
berdekatan denganku yang belakangan
baru kusadari kalau aku juga punya
ketertarikan dengan lelaki".
"Jadi kamu juga bi?", aku mengangguk.
"Tapi baru belakangan aku sadari.
Ternyata dulu aku mencintaimu".
"Iya. Aku pun baru menyadari kalau
sebenarnya aku mencintaimu. Tetapi dulu
aku menyangkalnya. Apalagi kita sama-
sama lelaki".
"Padahal sewaktu kita tidur dan
berdekapan dulu, aku ingin sekali
memegang penismu", aku menggodanya.
"Aku bahkan ingin sekali mengulum
penismu", tiba-tiba dia melayangkan
ciuman di pipiku.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?", aku
menantangnya.
Tanpa basa-basi, tangan Jandris
membuka resletingku. Penisku yang
sudah sejak tadi berdiri dikeluarkannya
dari celana dalamku. Aku mendesis saat
tangannya meremasnya. Jandris
geregetan seiring dengan gairahku yang
sudah melambung, melihat seorang polisi
yang gagah dan tampan memainkan
penisku. Untung saja sudah malam,
sehingga apa yang kami lakukan tidak
begitu kelihatan. Aku balas meremas
penisnya di balik seragam coklatnya
yang penuh saku.
Dengan cekatan dikulumnya penisku.
Aku mengerang hebat, saat ujungnya
disedot kasar. Gairah yang sejak kuliah
aku rasakan dengannya, akhirnya
kudapat. Mulutnya cekatan memainkan
penisku, seolah dia sudah sangat
profesional. Aku yakin dia sudah sering
mengulum penis. Aku mendesis. Sengaja
aku memilih Ringroad barat yang tidak
begitu ramai, agar aku bisa lebih
meregang gairahku.
Aku mendesis hebat saat penisku
berdenyut, seolah mau berontak.
Tanganku menjambak kepala Jandris
yang semakin cepat merancap gairahku.
Aku sudah tidak tahan dengan gairahku.
Aku memekik kecil, dan mencoba menarik
kepala Jandris agar sperma tidak
muncrat di mulutnya. Tetapi justru dia
semakin membenamkan kepalanya.
Mulutnya masih terus mengulum penisku
yang sudah sangat berdenyut hebat. Aku
meraung saat akhirnya sperma muncrat di
mulutnya.
Jandris mengangkat kepalanya setelah
semua spermaku ditelannya. Bahkan
sisa-sisanya terus dijilatinya. Aku
menciumnya. Tapi kami terpekik saat ada
truk dari arah berlawanan membunyikan
tiba-tiba klakson. Mungkin sang sopir
tahu apa yang kami lakukan saat
lampunya menerpa kami. Tetapi kemudian
kami tertawa.
"Gantian kamu yang nyetir", aku sedikit
merajuk.
"Enggak ah", Jandris menggodaku.
Matanya dikedipkannya berkali.
"Tidak adil dong. Aku kan juga pengin
ngrasain penismu".
"Ntar saja di rumah".
"Tidak. Ntar lain. Sekarang menu
pembuka", aku semakin merajuk.
Kami pun pindah tempat. Begitu Jandris
memegang kendali, aku langsung
meremas penisnya yang sudah sangat
tegak. Dengan kasar aku keluarkan dari
celana dalam yang ternyata juga coklat
tua. Bau keringat dan sensasi yang ada
padanya semakin membuatku kesetanan.
Sosok polisi gagah dan kekar dengan
seragam yang dipenuhi atribut TNI yang
semakin membuatnya macho, membuatku
kembali bergairah.
Aku segera mengulumnya. Hangat terasa
dimuluntuku, saat penis yang lebih besar
dari punyaku kukulum. Rambut
kemaluannya yang lebat, aku jilati juga,
lalu kujambak-jambak kecil. Gemas. Saat
muluntuku sibuk dengan penisnya,
tanganku menggerayangi pinggulnya.
Sepucuk pistol di pinggang kuraba,
mendatangkan sensasi gila. Gesper khas
TNI yang lebar pun tidak luput dari
rabaanku. Aku mendesah, saat
merasakan sensasi di otakku. Apalagi
saat tanganku menjelajahi sepatu boot
di dua kakinya, membuatku tambah
melayang.
Penisku pun kembali tegang. Aku
semakin kesetanan mengoral penisnya.
Sesekali aku memandang wajahnya yang
tegang dengan mulut menganga dan
mendesis. Aku semakin kesetanan. Aku
percepat aksiku. Aku rasakan
pinggulnya mengejang. Tangannya
menjambak rambuntuku.Dia sedikit
mengangkat pinggulnya. Spontan aku
mencabut muluntuku saat spermanya
muncrat.Tetapi telat,sehingga wajahnya
yang menjadi pendaratannya. Kurasakan
spermanya hangat dan kental di
wajahku.Segera aku mengambil tisu dan
mengelapnya.Apalagi jalanan sudah
mulai ramai.Kami tersenyum kecil, seolah sudah tidak
sabar untuk melakukan aksi dirumahnya.

<< X~hot